28 September 2017

Sepenggal Kisah Kiai Hamid Pasuruan

pict source : google
Kota Pasuruan dikenal dengan julukan kota santri yang sangat kokoh karena banyak ulama’ yang hidup di penjuru Kota Pasuruan. Khususnya di bagian pusat kota, di kompleks Pondok Pesantren Salafiyah dan Masjid Al-Anwar Kota Pasuruan. Tidak sedikit dijumpai ahli-ahli agama. Namun, tidak sembarang orang dengan mudahnya dapat menyandang gelar sebagai ahli agama, walaupun hidup berdampingan dengan sekelompok orang agamis.
Tidak heran bila banyak dijumpai orang-orang berpakaian jubah putih atau busana muslim memenuhi area masjid Al-Anwar, khususnya bila maghrib menjelang untuk mengikuti sholat berjamaah. Pengunjung yang memadati area ini tidak hanya berasal dari dalam Kota Pasuruan. Mereka juga merupakan pengunjung yang datang dari luar kota untuk berziarah ke makam seorang kiai di Kota Pasuruan.
Salah satu kiai yang terkenal dari Kota Pasuruan adalah Kiai Hamid. Seorang kiai yang dikenal sebagai kiai nomor wahid oleh banyak orang di penjuru kota, bahkan di seantero tanah jawa. Kiai Hamid terlahir dengan nama Abdul Mu’thi pada 1333 H atau 1914-1915 M di Kota Lasem, Jawa Tengah. Beliau memiliki sejarah yang sangat panjang dan berarti semasa hidupnya, hingga sampai pada akhirnya beliau dikenal dengan sosok yang sangat disegani dan patut diteladani oleh masyarakat.
Mu’thi kecil bukanlah anak yang manis, yang kesehariannya berada di dalam rumah. Ia merupakan anak yang extrovert, lebih banyak bermain di luar rumah, bermain layang-layang hingga sepak bola. Kepribadiannya ini terus terbawa hingga ke pondok Tremas. Sebelum menjadi santri di pondok Tremas, Mu’thi kecil sempat nyantri selama satu tahun di Kasingan, Rembang, pada usia 12 tahun. Pada usia ini, nama Abdul Mu’thi berubah menjadi Abdul Hamid.
Pondok Tremas, sebuah pondok yang terkenal dengan sistem pengkaderannya yang bagus, membuat hidup sosok Abdul Hamid berubah. Tahun demi tahun berjalan, kehidupan spiritual Abdul Hamid kian menaiki puncaknya. Di pondok ini, Abdul Hamid mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang didapatnya untuk para santri. Selama 12 tahun lamanya Abdul Hamid belajar dan mengajar di pondok Tremas, sebelum akhirnya menikah dengan Nafisah, putri dari paman sekaligus mertuanya, KH. Achmad Qusyairi, di Kota Pasuruan.
Setelah menikah, hidup Kiai Abdul Hamid dihabiskan di Kota Pasuruan. Beliau mulai dikenal karena ilmunya sehingga beliau dipercaya untuk mengajar kitab di masjid-masjid penjuru kota. Kiai Abdul Hamid juga dipercaya untuk memangku pondok pesantren Salafiyah, ketika para santri banyak meninggalkan pondok tersebut. Dalam genggaman Kiai Abdul Hamid, lambat laun jumlah santri kian bertambah. Beliau mengajarkan banyak sekali kitab-kitab pada santrinya. Tapi di kemudian hari, sebagian pengajaran kitab tersebut beliau limpahkan kepada orang lain.
Semasa hidupnya, Kiai Abdul Hamid mengalami perubahan nama sebanyak tiga kali. Untuk yang terakhir, Kiai Abdul Hamid memutuskan sendiri sebutannya pada masa beliau memangku pondok pesantren Salafiyah. Kiai Hamid, begitu kata beliau. Karena masyarakat terlanjur mengenalnya sebagai Kiai Hamid, bukan Kiai Abdul Hamid.
Kiai Hamid merupakan sosok yang memiliki kepedulian tulus pada permasalahan masyarakat. Beliau juga dikenal dekat dengan masyarakat. Beliau menjadi tempat mengadu permasalahan, terutama yang menyangkut moral keagamaan mereka  dan mampu membimbing mereka untuk menyelesaikan masalah. Hal ini dikarenakan Kiai Hamid memiliki ilmu yang luas dan dalam dalam banyak bidang terkait ilmu agama serta pribadinya yang teduh. Selain itu, yang jarang diketahui oleh masyarakat, Kiai Hamid juga memiliki ilmu yang luas pada syi’ir atau yang dikenal dengan puisi Arab. Namun, kepakaran beliau dalam bidang ini terselubung oleh kesufiannya atau kewaliannya.
Kesufian Kiai Hamid tidak hanya ditunjukkan melalui ilmunya yang luas. Beliau dikenal sebagai sosok yang lembut penyayang, baik itu kepada keluarga, kerabat bahkan kepada orang asing seperti pencur akan beliau anggap sebagai seorang tamu. Akhlak-akhlak mulia dan cara beliau memimpin masyarakat, sifat kedermawaannya, tawadhu’ serta bagaimana beliau menyayangi binatang dan tumbuhan adalah beberapa hal yang dapat masyarakat teladani hingga kini.

Kompleks Makam Kiai Hamid
Kompleks makam Kiai Hamid terletak tepat di belakang Masjid Jami’ Al-Anwar Kota Pasuruan. Namun, makam kiai hamid tersebut masih menjadi satu bangunan dengan masjid. Untuk menuju ke dalam kompleks pemakaman, pengunjung harus melewati sebuah gang berukuran kurang dari 2 meter di samping kanan masjid. Pada jalan setapak tersebut terdapat beberapa kios yang berjualan aneka perlengkapan muslim seperti busana, peci, tasbih, parfum dan buku-buku pengetahuan agama islam hingga sekedar poster-poster kiai hamid beserta kerabatnya.
            Ketika sampai di dalam area pemakaman, ada beberapa hal yang menarik selain makam kiai hamid. Terdapat sebuah bangunan joglo dengan beberapa makam di dalamnya. Bangunan tersebut merupakan makam keluarga Aryo Nitiadiningrat I atau Raden Garoedo yang merupakan Bupati Kota Pasuruan pada tahun 1757-1799.
Di samping rumah joglo tersebutlah, Kiai Hamid di makamkan. Untuk masuk ke dalam area makam Sang Kiai, pengunjung diwajibkan untuk mengambil air wudhu terlebih dahulu. Namun, hanya pengunjung pria yang dapat masuk hingga ke dalam area makam Kiai Hamid. Sedangkan untuk wanita hanya boleh mengunjungi dan membaca doa di luar batas yang telah ditentukan. Makam Kiai Hamid dikelilingi oleh pagar besi berwarna emas. Pada area makam ini, terdapat beberapa makam juga, yang merupakan makam para kerabat kiai hamid diantaranya makam Habib Ja’far (buyut Habib Taufiq) dan KH Achmad Qusyairi (mertua Kiai Hamid).
Dalam Buku Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid, disebutkan bahwa lokasi makam Kiai Hamid berada di belakang masjid memiliki cerita tersendiri. Beberapa hari sebelum meninggalnya Sang Kiai tepatnya pada 22 Desember 1982, beliau bertanya kepada salah satu kerabat mengenai dimana kuburan yang paling baik. Oleh kerabatnya dijawab bahwa kuburan yang paling baik terletak di belakang masjid. Pada saat itu pula, Kiai Hamid mengukur-ukur batas tanah antara masjid dan tanah makam di belakang masjid Al-Anwar ketika mengetahui bahwa hanya tersisa satu makam pada  area tersebut. Gelagat Kiai Hamid hari itu dirasa janggal oleh kerabatnya. Mengingat beliau tidak pernah mengeluhkan sakit yang ternyata selama ini beliau sembunyikan dari keluarga dan kerabat lainnya. Hingga pada akhirnya, 25 Desember 1982 M, sosok tokoh besar ini menghembuskan nafas terakhir dalam usia 70 tahun.

Oleh                 : Hilda Laksmita Dewi
Dokumen Foto      : Document Pribadi

***
19 September 2017.
     Dalam 23 tahun hidupku, hari itu pertama kalinya aku benar-benar mengerti siapakah Kiai Hamid. yang selama ini kuketahui hanyalah fakta bahwa beliau merupakan kiai nomor wahid di kota ini. hanya tentang, jika ada haul beliau semua sekolah di kota ini diliburkan. Dan untuk pertama kalinya juga, aku menunaikan ibadah sholat di masjid Al-Anwar. Jujur hidupku sangat terisolasi dari lingkungan di sekitarku sendiri. entah aku yang mengisolasi diriku sendiri ataukah memang lingkungan yang tidak mampu menarikku ke dalamnya.
selama ini aku memang banyak pergi ke berbagai titik di kota ini. pelabuhan dan sekitarnya, bangunan-bangunan kuno beserta sejarahnya kudatangi dan kupelajari. tapi entah mengapa aku tak pernah terusik oleh sebuah nama yang seharusnya ku ulik lebih dalam lagi. jadi aku sangat amat bersyukur, tugas sesederhana ini mengantarkan aku kemari. sejarah tentang tokoh yang patut diteladani akhlaknya. dan memang benar, belajar tidak perlu setengah-setengah. untuk tahu tentang beliau, sangat tidak cukup sekedar wawancara ke takmir masjid maupun santri-santri disana. perlulah kiranya membeli buku tentang Kiai Hamid yang telah diterbitkan oleh pondok Salafiyah. buku ini bisa didapat di sepanjang lorong sebelah masjid dengan harga rata-rata Rp 75.000 . tapi apa daya diriku seorang mahasiswi yang menawar hingga mendapatkan harga Rp. 65.000 hehehe.
semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment