pict source : google |
Kota Pasuruan dikenal dengan julukan kota santri yang sangat kokoh karena
banyak ulama’ yang hidup di penjuru Kota Pasuruan. Khususnya di bagian pusat
kota, di kompleks Pondok Pesantren Salafiyah dan Masjid Al-Anwar Kota Pasuruan.
Tidak sedikit dijumpai ahli-ahli agama. Namun, tidak sembarang orang dengan
mudahnya dapat menyandang gelar sebagai ahli agama, walaupun hidup berdampingan
dengan sekelompok orang agamis.
Tidak heran bila banyak dijumpai orang-orang berpakaian jubah putih atau
busana muslim memenuhi area masjid Al-Anwar, khususnya bila maghrib menjelang
untuk mengikuti sholat berjamaah. Pengunjung yang memadati area ini tidak hanya
berasal dari dalam Kota Pasuruan. Mereka juga merupakan pengunjung yang datang
dari luar kota untuk berziarah ke makam seorang kiai di Kota Pasuruan.
Salah satu kiai yang terkenal dari Kota Pasuruan adalah Kiai Hamid.
Seorang kiai yang dikenal sebagai kiai nomor wahid oleh banyak orang di penjuru
kota, bahkan di seantero tanah jawa. Kiai Hamid terlahir dengan nama Abdul
Mu’thi pada 1333 H atau 1914-1915 M di Kota Lasem, Jawa Tengah. Beliau memiliki
sejarah yang sangat panjang dan berarti semasa hidupnya, hingga sampai pada
akhirnya beliau dikenal dengan sosok yang sangat disegani dan patut diteladani
oleh masyarakat.
Mu’thi kecil bukanlah anak yang manis, yang kesehariannya berada di dalam
rumah. Ia merupakan anak yang extrovert, lebih banyak bermain di luar rumah,
bermain layang-layang hingga sepak bola. Kepribadiannya ini terus terbawa
hingga ke pondok Tremas. Sebelum menjadi santri di pondok Tremas, Mu’thi kecil sempat
nyantri selama satu tahun di
Kasingan, Rembang, pada usia 12 tahun. Pada usia ini, nama Abdul Mu’thi berubah
menjadi Abdul Hamid.
Pondok Tremas, sebuah pondok yang terkenal dengan sistem pengkaderannya
yang bagus, membuat hidup sosok Abdul Hamid berubah. Tahun demi tahun berjalan,
kehidupan spiritual Abdul Hamid kian menaiki puncaknya. Di pondok ini, Abdul
Hamid mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang didapatnya untuk para santri. Selama 12
tahun lamanya Abdul Hamid belajar dan mengajar di pondok Tremas, sebelum
akhirnya menikah dengan Nafisah, putri dari paman sekaligus mertuanya, KH.
Achmad Qusyairi, di Kota Pasuruan.
Setelah menikah, hidup Kiai Abdul Hamid dihabiskan di Kota Pasuruan.
Beliau mulai dikenal karena ilmunya sehingga beliau dipercaya untuk mengajar
kitab di masjid-masjid penjuru kota. Kiai Abdul Hamid juga dipercaya untuk
memangku pondok pesantren Salafiyah, ketika para santri banyak meninggalkan
pondok tersebut. Dalam genggaman Kiai Abdul Hamid, lambat laun jumlah santri
kian bertambah. Beliau mengajarkan banyak sekali kitab-kitab pada santrinya. Tapi
di kemudian hari, sebagian pengajaran kitab tersebut beliau limpahkan kepada
orang lain.
Semasa hidupnya, Kiai Abdul Hamid mengalami perubahan nama sebanyak tiga
kali. Untuk yang terakhir, Kiai Abdul Hamid memutuskan sendiri sebutannya pada
masa beliau memangku pondok pesantren Salafiyah. Kiai Hamid, begitu kata
beliau. Karena masyarakat terlanjur mengenalnya sebagai Kiai Hamid, bukan Kiai
Abdul Hamid.
Kiai Hamid merupakan sosok yang memiliki kepedulian tulus pada
permasalahan masyarakat. Beliau juga dikenal dekat dengan masyarakat. Beliau
menjadi tempat mengadu permasalahan, terutama yang menyangkut moral keagamaan
mereka dan mampu membimbing mereka untuk
menyelesaikan masalah. Hal ini dikarenakan Kiai Hamid memiliki ilmu yang luas
dan dalam dalam banyak bidang terkait ilmu agama serta pribadinya yang teduh.
Selain itu, yang jarang diketahui oleh masyarakat, Kiai Hamid juga memiliki
ilmu yang luas pada syi’ir atau yang dikenal dengan puisi Arab. Namun,
kepakaran beliau dalam bidang ini terselubung oleh kesufiannya atau
kewaliannya.
Kesufian Kiai Hamid tidak hanya ditunjukkan melalui ilmunya yang luas.
Beliau dikenal sebagai sosok yang lembut penyayang, baik itu kepada keluarga,
kerabat bahkan kepada orang asing seperti pencur akan beliau anggap sebagai
seorang tamu. Akhlak-akhlak mulia dan cara beliau memimpin masyarakat, sifat
kedermawaannya, tawadhu’ serta bagaimana beliau menyayangi binatang dan
tumbuhan adalah beberapa hal yang dapat masyarakat teladani hingga kini.
Kompleks Makam Kiai Hamid
Kompleks makam Kiai Hamid terletak tepat di belakang Masjid Jami’
Al-Anwar Kota Pasuruan. Namun, makam kiai hamid tersebut masih menjadi satu
bangunan dengan masjid. Untuk menuju ke dalam kompleks pemakaman, pengunjung
harus melewati sebuah gang berukuran kurang dari 2 meter di samping kanan
masjid. Pada jalan setapak tersebut terdapat beberapa kios yang berjualan aneka
perlengkapan muslim seperti busana, peci, tasbih, parfum dan buku-buku
pengetahuan agama islam hingga sekedar poster-poster kiai hamid beserta
kerabatnya.
Ketika sampai di dalam area
pemakaman, ada beberapa hal yang menarik selain makam kiai hamid. Terdapat
sebuah bangunan joglo dengan beberapa makam di dalamnya. Bangunan tersebut
merupakan makam keluarga Aryo Nitiadiningrat I atau Raden Garoedo yang
merupakan Bupati Kota Pasuruan pada tahun 1757-1799.
Di samping rumah joglo tersebutlah, Kiai Hamid di makamkan. Untuk masuk
ke dalam area makam Sang Kiai, pengunjung diwajibkan untuk mengambil air wudhu
terlebih dahulu. Namun, hanya pengunjung pria yang dapat masuk hingga ke dalam
area makam Kiai Hamid. Sedangkan untuk wanita hanya boleh mengunjungi dan
membaca doa di luar batas yang telah ditentukan. Makam Kiai Hamid dikelilingi
oleh pagar besi berwarna emas. Pada area makam ini, terdapat beberapa makam
juga, yang merupakan makam para kerabat kiai hamid diantaranya makam Habib Ja’far
(buyut Habib Taufiq) dan KH Achmad Qusyairi (mertua Kiai Hamid).
Dalam Buku Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid, disebutkan bahwa lokasi
makam Kiai Hamid berada di belakang masjid memiliki cerita tersendiri. Beberapa
hari sebelum meninggalnya Sang Kiai tepatnya pada 22 Desember 1982, beliau
bertanya kepada salah satu kerabat mengenai dimana kuburan yang paling baik.
Oleh kerabatnya dijawab bahwa kuburan yang paling baik terletak di belakang
masjid. Pada saat itu pula, Kiai Hamid mengukur-ukur batas tanah antara masjid
dan tanah makam di belakang masjid Al-Anwar ketika mengetahui bahwa hanya
tersisa satu makam pada area tersebut. Gelagat
Kiai Hamid hari itu dirasa janggal oleh kerabatnya. Mengingat beliau tidak
pernah mengeluhkan sakit yang ternyata selama ini beliau sembunyikan dari
keluarga dan kerabat lainnya. Hingga pada akhirnya, 25 Desember 1982 M, sosok
tokoh besar ini menghembuskan nafas terakhir dalam usia 70 tahun.
Oleh : Hilda Laksmita Dewi
Dokumen Foto : Document Pribadi
***
19 September 2017.
Dalam 23 tahun hidupku, hari itu pertama kalinya aku benar-benar mengerti siapakah Kiai Hamid. yang selama ini kuketahui hanyalah fakta bahwa beliau merupakan kiai nomor wahid di kota ini. hanya tentang, jika ada haul beliau semua sekolah di kota ini diliburkan. Dan untuk pertama kalinya juga, aku menunaikan ibadah sholat di masjid Al-Anwar. Jujur hidupku sangat terisolasi dari lingkungan di sekitarku sendiri. entah aku yang mengisolasi diriku sendiri ataukah memang lingkungan yang tidak mampu menarikku ke dalamnya.
selama ini aku memang banyak pergi ke berbagai titik di kota ini. pelabuhan dan sekitarnya, bangunan-bangunan kuno beserta sejarahnya kudatangi dan kupelajari. tapi entah mengapa aku tak pernah terusik oleh sebuah nama yang seharusnya ku ulik lebih dalam lagi. jadi aku sangat amat bersyukur, tugas sesederhana ini mengantarkan aku kemari. sejarah tentang tokoh yang patut diteladani akhlaknya. dan memang benar, belajar tidak perlu setengah-setengah. untuk tahu tentang beliau, sangat tidak cukup sekedar wawancara ke takmir masjid maupun santri-santri disana. perlulah kiranya membeli buku tentang Kiai Hamid yang telah diterbitkan oleh pondok Salafiyah. buku ini bisa didapat di sepanjang lorong sebelah masjid dengan harga rata-rata Rp 75.000 . tapi apa daya diriku seorang mahasiswi yang menawar hingga mendapatkan harga Rp. 65.000 hehehe.
semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment